POSISI
UML DALAM PERCATURAN EKOLOGI, SOSIAL,
DAN
POLITIK KEHUTANAN[1]
(Redefinisi Peran dan Hubungan UML Dengan Berbagai
Stakeholders)
Jamal
M. Gawi
I.
Kondisi Saat Ini (Permasalahan)
Tanpa terasa sudah hampir empat tahun UML melaksanakan program kerja seperti yang diamanatkan oleh FM. Terlepas dari prestasi yang dicapai, telah banyak yang dilakukan UML yang melibatkan kerja keras dari para pimpinan dan seluruh karyawan. Banyak proyek yang diimplementasikan. Berbagai hubungan dengan banyak organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah telah dibina. Tak terkira masukan yang diberikan baik kepada pemerintah pusat maupun daerah. Kesemua hal di atas tentu saja ditujukan untuk mengefektifkan peran UML dalam menyelamatkan Kawasan Ekosistem Leuser.
Tanpa menafikan jerih payah yang telah dilakukan oleh segenap pimpinan dan karyawan UML, harus diakui bahwa masih banyak sekali kritikan dan negatif feedback yang diterima UML. Yang lebih merepotkan, kritikan ini datang dari hampir semua stakeholders yang terkait dalam jaringan kerja UML. Hal ini menjadi sebuah pertanda bahwa masih ada yang salah/kurang tepat dalam pendekatan kerja yang dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program-program UML.
Merujuk kepada kondisi di atas, tentu saja harus dipikirkan dengan serius upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi dalam sisa-sisa usia program UML yang tinggal tiga tahun lagi. Prinsip kunci yang harus dipegang adalah bahwa UML tidak mungkin berhasil dalam Program Pengembangan Leuser (PPL) jika hampir semua Stakeholders berseberangan dengannya. Untuk keperluan tersebut, tulisan singkat ini mencoba melihat kembali posisi UML dalam peta politik kehutanan dan menemukan peluang-peluang baru untuk memperbaiki situasi.
II.
Politik
Kehutanan di
Politik kehutanan di
Perubahan yang sangat signifikan adalah bangkitnya arus bawah yang sebagian di representasikan oleh semakin besar dan berani masyarakat dan LSM dalam menuntut hak-hak yang berkaitan dengan hutan. Beberapa gerakan masyarakat bahkan cenderung bersifat radikal, seperti (ancaman) pembakaran camp HPH, IPK, dan HGU, pengambil alihan secara paksa lokasi HPH dan HGU dan bahkan pendudukan hutan lindung. Sejalan dengan melemahnya peran pemerintah dan buntunya saluran komunikasi masyarakat, gerakan radikal juga semakin tumbuh subur.
Misi yang dibawa oleh gerakan arus bawah ini adalah pengembalian hak-hak masyarakat lokal yang selama ini telah dirampas secara sistematis oleh pemerintah. Misi ini kentara sekali kalau dilihat dalam program kerja (SHK, misalnya) beberapa LSM baik yang berada di pusat maupun daerah. Pengembalian hak-hak masyarakat lokal ini kelihatannya akan terus menjadi agenda utama gerakan LSM kehutanan.
Pada situasi yang sedang berubah di atas, UML datang dengan konsep yang ditangkap asing oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa pada saat rakyat berjuang untuk menuntut kembali hak-haknya, UML malah datang dengan konsep yang manafikan masyarakat dan menomorsatukan pelestarian hutan (baca satwa). Isu ini kelihatannya juga dipakai oleh sebagian pengritik tetap UML seperti Pemda, LSM, dan pengusaha lokal. Selain itu, sebagian besar pihak-pihak di atas juga terus mempertanyakan apa yang telah dilakukan oleh UML untuk masyarakat setempat.
Pada sisi lain, pihak kehutanan sebagai counterpart UML melihat UML sebagai sebuah institusi yang arogan, keras kepala, dan cenderung mengancam kebijakan kehutanan yang telah/sedang dilaksanakan (atau paling kurang mengancam kepentingan tertentu yang ada dalam tubuh kehutanan baik di tingkat pusat maupun daerah). Pelaksanaan kegiatan di luar Ekosistem juga menjadi bahan sorotan tajam dari pihak kehutanan. Resultante dari semua ini adalah adanya penolakan yang sistematis (melalui kritikan dalam berbagai forum) oleh instansi kehutanan terhadap UML, terutama sekali oleh individu-individu tertentu dalam tubuh kehutanan.
Dipihak masyarakat, masih banyak sekali kritikan tentang ketidak tahuan mereka tentang program UML dan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini diperburuk dengan pendekatan staf UML dilapangan yang sangat membeda-bedakan divisi, sehingga terkesan UML terkotak-kotak dan hanya divisi tertentu saja yang melakukan kegiatan.
Dipihak pengusaha kehutanan dan perkebunan, kehadiran UML dianggap sebagai ancaman yang sangat serius, terutama dengan laporan UML tentang kesalahan dan pelanggaran yang mereka lakukan. UML dianggap cuma bisa menyatakan salah, tanpa dapat memberikan jalan keluar yang bisa diterima semua pihak. Kondisi saat ini adalah para penusaha ini semakin mengkonsilidasikan diri untuk bersatu menentang UML dengan berbagai cara.
Pada sisi internal, banyak staf UML yang masih tertinggal dalam mengikuti perkembangan politik kehutanan dan bahkan banyak staf UML yang belum mengerti sistem organisasi UML yang terkesan rumit (terutama sekali dalam kaitan dengan isu FM dan Kepres 33, UML dan YLI dan lain-lain). Selain itu, pendekatan yang dilakukan UML terhadap stakeholders di atas juga banyak yang tidak/kurang tepat. Belum lagi pada beberapa lokasi, staf UML dipandang terkesan sombong dengan Land Rover atau sepeda motor barunya. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap UML.
Selain itu, UML secara organisasi juga lemah sekali dalam merespon setiap berita negatif, terutama yang dimuat oleh mas media lokal. Masalah ini menjadi serius karena kalau sebuah berita negatif terus diulang-ulang, maka sebagian besar pembaca akan berpikir bahwa berita tersebut benar adanya.
Kemampuan lapangan staf UML juga banyak yang dipertanyakan oleh LSM lokal. Hal ini misalnya dapat dilihat dari minimnya pengetahuan staf UML tentang metode pendekatan partisipatif dalam pengelolaan kegiatan. Begitu pula minimnya training di bidang forest survival dan teknik pelaporan pada sebagian staf yang berpatroli di dalam hutan.
III.
Pendekatan Pemecahan Masalah (Pendekatan
Stakeholders)
Satu hal penting yang harus dipegang adalah:
UML bukan satu-satunya pihak yang berurusan dengan hutan. Prinsip utama yang
ingin dikembangkan dalam tulisan ini adalah: semua stakeholders harus dilibatkan atau paling tidak dimintai
pendapat/masukannya tentang Program Pengembangan Leuser. Hal ini menjadi
penting mengingat keberhasilan UML juga diukur dari sejauh mana UML mampu
bekeja sama atau menggalang dukungan dari berbagai stakeholders. UML tidak
mungkin berhasil kalau stakeholder lainnya menentang atau paling kurang pasif
terhadap program kerja UML.
Salah satu masalah yang timbul selama ini
antara UML dengan berbagai stakeholders adalah adanya perbedaan fokus kerja
pada masing-masing pihak yang buntut-buntutnya mengarah kepada perbedaan
interest. Hal ini sebenarnya bukan persoalan besar kalau masing-masing pihak dapat
berdialog dan menemukan jalan tengah.. Untuk lebih jelasnya, berikut ini di
uraikan gambaran kasar dari fokus kerja masing-masing stakeholders termasuk
UML.
Instansi/ Stakeholders |
Fokus |
|||||
Hutan |
Masyarakat |
Penegakan
Hukum |
||||
Protek si |
Eksploitasi |
No Resettle ments |
Resettlements |
Pengem bangan |
||
UML Kehutanan Pemda LSM Pengusaha Universitas Pers Masyarakat |
üüü ü ü üü üü üü ü |
ü üüü üüü üü üüü üü üüü |
üü ü üüü üü |
üüü ü üü ü üü |
üü ü üü üüü üü üü |
üüü ü ü ü ü üü üü ü |
Ket.:
= Lemah
üü = Sedang
üüü=
Kuat
Kalau dilihat dari bagan di atas, UML memiliki
flatform yang sama (walaupun penekanannya berbeda) dengan beberapa
stakeholders. Hal ini sebenarnya menjadi sebuah peluang yang sangat berharga
untuk mencari sebuah solusi bersama yang compromistis tetapi berazaskan etika
dan dalam kaidah mentaati hukum yang belaku.
1)
Masyarakat yang Bermukim Disekitar KEL
Masyarakat yang bermukim disekitar kawasan
ekosistem tersebar pada desa-desa yang mengelilingi KEL. Selain lingkungan
hidup (the environment) itu sendiri,
mereka adalah pihak yang harus diuntungkan (the
main beneficiaries) dari keberadaan program UML. Hubungan antara masyarakat
ini dengan UML terbentuk dari sosialisasi dan keberadaan program UML dilapangan
serta dari pihak kedua seperti mass media.
Beberapa program UML yang langsung terkait
dengan masyarakat dan kentara adalah program penandaan batas KEL dan program
pembangunan pedesaan (rural development).
Kedua program ini telah menciptakan image tersendiri dibenak masyarakat terhadap
UML. Sebagai contoh, karena kurang dialog dan sosialisasi, tanda batas KEL di
Aceh sampai saat ini masih belum bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat.
Hal ini memiliki implikasi serius terhadap masa depan tanda batas tersebut.
Beberapa temuan menunjukkan bahwa sebagian tanda batas telah dirusak
masyarakat.
Kerena luasnya kawasan program, program
pembangunan pedesaan yang dilaksanaan UML menjadi hampir tidak berbekas di
lapangan. Program dan kegiatan yang dilakukan ibarat jarum yang jatuh ketumpukan
jerami. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang beredar dikalangan masyarakat
dimana UML dianggap belum melakukan apa-apa.
Janji dan propaganda yang pernah dilakukan oleh
staf UML atau YLI terus berbekas dibenak masyarakat yang selanjutnya
berpengaruh terhadap sikap masyarakat terhadap UML. Sebagai contoh, berita yang
diperoleh masyarakat selama ini adalah: UML mempunyai banyak dana bahkan sampai
ratusan milyar. Hal ini mempersulit pelaksanaan program UML dilapangan, karena
masyarakat belum apa-apa sudah menyodorkan proposal bantuan dengan dana yang
membengkak. Hal ini juga berpengaruh terhadap program pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan, karena sebahagian masyarakat berpikir kalau ada dana kenapa
harus bekerja keras, misalnya untuk menyiapkan bibit dan menanam sendiri dalam
program hutan kemasyarakatan.
Perlu juga disebutkan bahwa komponen masyarakat
yang berinteraksi dengan UML sangat beragam, mulai dari petani; perambah;
pekerja HPH, HGU, IPK, dan Kilangkayu; pedagang lokal, dll. Pada kesempatan ini,
analisis sikap berbagai komponen masyarakat belum dapat dilakukan.
2)
Masyarakat Luas
Masyarakat luas adalah masyarakat yang tidak
secara langsung berhubungan dengan KEL. Mereka mengikuti perkembangan UML
umumnya melalui media
3)
Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan baik di tingkat pusat
maupun daerah adalah stakeholders utama Program Pengembangan Leuser (PPL).
Sebagai penguasa tunggal kehutanan (salah satu aset SDA terpenting) di
Dephut juga mendapat tugas dari pemerintah
dalam menyediakan devisa untuk membayar hutang luar negeri RI. Oleh sebab itu,
fokus Dephut selama ini lebih kepada eksploitasi dari pada konservasi.
Akibatnya, Dephut terlibat dalam suatu bisnis hutan yang sangat besar dan telah
memberikan kemakmuran tersendiri bagi sebagian besar pejabat kehutanan dan
pihak lain yang terlibat. Yang sangat disayangkan adalah, hanya segelintir
masyarakat saja yang dapat mereguk nimatnya bisnis kayu. Mereka umumnya adalah
keluarga Mantan Presiden dan kroni-kroninya serta juga sebagian pejabat di
tingkat pusat dan daerah.
Keberadaan UML dan KEL selama ini dianggap
menggangu sistem kerja eksploitasi hutan yang telah dan sedang dikembangkan
oleh Dephut. Apalagi UML sering menyerang keberadaan HPH dan HGU yang
kesemuanya telah mendapat izin operasi dari Dephut. Hal ini kemungkinan
dianggap oleh pihak Dephut sebagai membuka borok mereka yang sedang dicoba
tutupi.
Selain hal disebut di atas, wawasan konservasi
yang sangat kuat pada sebagian pimpinan UML terbentur pada wawasan eksploitasi
yang selama ini sudah menjadi state of
the art nya Dephut. Walaupun Dephut memiliki Direktorat PHPA (PKA),
direktorat ini sangat lemah dan marginal bila dibandingkan dengan direktorat
lainnya sehingga kepentingan konservasi menjadi sub-ordinate dalam lingkungan Dephut.
Selain itu, Dephut sendiri kelihatannya belum siap untuk melihat dan melepaskan sebagian wilayah kerja untuk dikelola oleh pihak lain yang menurut mereka tidak mengerti hutan. Hal ini diperkuat oleh penilaian mereka bahwa sebagaian besar staf UML tidak memiliki latar belakang kehutanan.
Hal lain yang juag penting adalah sistem komunikasi
yang dikembangkan selama ini. Dahulunya UML mengembangkan komunikasi vertikal
ke atas yang lebih dominan malalui hubungan-hubungan dengan
Hal-hal yang disebutkan di atas menimbulkan
sikap menghindar (baca: menolak) dari Dephut baik di pusat maupun perpanjangan
tangannya di daerah. Bahkan pihak lain melihat telah terjadi “perang dingin”
antara UML dengan Dephut. Hal ini tercermin dari sikap Dephut dalam setiap
meeting yang melibatkan UML dimana antara UML dan Dephut sering terjadi silang
pendapat.
4)
Pemda
Pemda yang langsung terkait dengan PPL paling
kurang dapat dibagi dua, yaitu pada tingkat propinsi dan kabupaten. Pada
tingkat propinsi hampir dapat dipastikan bahwa beberapa institusi kunci seperti
Kantor Gubernur, DPR (kecuali beberapa anggota), Bappeda, Bapedalda, dan BPN (quasi) mendukung PPL secara penuh.
Masalah muncul pada tingkat kabupaten karena
ada kabupaten, contohnya Aceh Tenggara, yang sangat kritis terhadap PPL. Dasar
konflik yang muncul antara Kabupaten dengan UML bisa dijelaskan dari perbedaan
kepentingan.
Perkembangan terakhir memperlihatkan ada
kabupaten tertentu yang mencoba bernegosiasi dengan menggunakan pendekatan PAD.
Kalau mereka melarang bisnis tertentu, maka mereka akan kehilangan PAD dalam
jumlah tertentu pula. Apakah UML siap mengkompensasikan kehilangan tersebut?
Hal-hal seperti ini sebenarnya menarik sekali untuk dipelajari dan dibahas
secara mendalam dengan harapan akan didapat ide-ide yang inovatif.
Masalah lain yang juga krusial adalah padu
serasi antara KEL dengan tata ruang baik propinsi maupun kabupaten, bahkan
kalau memungkinkan pada level kecamatan dan desa. Begitu KEL telah masuk
kedalam wilayah tata ruang (baik tertulis maupun di alam pikiran), maka UML
akan lebih leluasa lagi dalam bekerja. Hal ini sangat penting karena dapat
dijadikan sebagai dokumen legal yang mengikat masing-masing pihak.
5)
LSM
Walaupun UML telah bekerja sama dengan banyak LSM, tetapi kelihatannya pihak LSM, terutama LSM penting seperti Walhi, masih bersikap sangat kritis terhadap UML. Menurut informasi yang ada, hal ini terutama sekali disebabkan oleh kurangnya kumunikasi dan adanya persepsi yang salah terhadap UML. Beberapa pandangan LSM tentang UML adalah: UML dianggap melakukan pendekatan top-down dalam kegiatannya; UML mencoba memonopoli konservasi; UML wadah birokrat; karena banyak dana, UML merasa diri superior dan menganggap sepele LSM lainnya.
Persepsi di atas pada gilirannya menimbulkan
sikap menolak apa-apa yang berasal dari UML. Hal ini tentu saja tidak sehat,
oleh sebab itu harus diupayakan untuk diselesaikan secara arif. Salah satu hal
terbaik yang harus dilakukan adalah selalu berkomunikasi dengan pihak LSM, ikut
serta dalam pertemuan mereka, dan bekerja sama dengan mereka.
6)
Pengusaha
Selama ini pengusaha yang terlibat dengan
sektor kehutanan dan perkebunan dapat dikatakan sebagai penentang terdepan dari
keberadaan PPL.
Dalam kerangka pemecahan masalah besama,
pendekatan dialog yang berazaskan etika dan hukum sebenarnya merupakan jalan
keluar yang terbaik. Memang akan ada banyak ganjalan, tetapi tidak ada salahnya
dicoba. Kalau sekiranya pihak UML dan pengusaha dapat keluar dari trade-offs yang ada, akan sangat bagus
sekali.
7)
Universitas
Hubungan UML dengan universitas dapat dikatakan
sangat baik. Hal ini terlihat dari kerja sama penelitian yang dilakukan dan
hadirnya orang-orang universitas setempat di dalam lingkungan UML. Walaupun
demikian, ada juga beberapa individu di universitas lokal (terutama Unsyiah)
yang selama ini sangat kritis terhadap PPL. Sebagian mereka masih melihat UML
terlalu kaku dan hanya memikirkan kepentingan konservasi semata dengan menihilkan
aspek sosial ekonomi.
8)
Pers
Pers adalah salah satu lembaga yang sangat
penting untuk menyuarakan PPL dan sebaliknya untuk media kritik tergadap PPL.
Pers dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori: internsional, nasional, dan
lokal. Selama ini tidak ada masalah dengan pers internsional dan nasional yang
memang sangat profesional, bahkan mereka cenderung menyuarakan kepentingan PPL.
Masalah yang terjadi saat ini justru pada pers lokal, terutama yang berada di
Selama ini, UML merespon kritik dari pers
dengan cara membayar wartawan untuk memuat berita atau jawaban UML. Hal ini
sebenarnya tidak bijaksana dan akhirnya UML hanya menjadi mainan wartawan.
Memang ini masalah pelik yang agak sukar dipecahkan selama pers lokal belum
bisa bersikap objektif dan profesional. Yang dapat dilakukan sementara ini
untuk mengcounter berita negatif tersebut adalah dengan lebih banyak lagi
memuat berita posutif tentang UML di media-media yang ada dan juga dengan
mempublikasikan dalam berbagai bentuk tentang apa saja yang telah pernah dilakukan
oleh UML.
IV.
Rekomendasi[2]
(sementara)
1. Reorientasi fokus??: Manusia dan wildlife harus
equal (kecuali dalam kasus tertentu)??
2. Paduserasi KEL dengan Tata Ruang
3. Pemberdayaan masyarakat harus lebih ditonjolkan
4. Perencanaan dan pelaksanaan aktifitas harus melibatkan
semua stakeholders
5. Komunikasi dengan Dephut baik pusat dan daerah
harus terus dikembangkan
6. Pendekatan terhadap LSM tertentu harus dalam
kerangka partnership dan kesetaraan
7. Standar training/informasi untuk seluruh staf
harus dikembangkan
8. Memperbaiki image: Informasi dan sosialisasi
harus lebih diintensifkan
9. Pendekatan konflik adalah jalan terakhir