KONSEP
PENGEMBANGAN HUTAN KEMASYARAKATAN
(Beberapa Catatan Hasil Seminar dan Lokakarya Pengembangan SDM
Hutan
Kemasyarakatan,
Hutan Kemasyarakatan (HKM)
adalah sebuah “proses” perubahan yang mengarah kepada keterlibatan masyarakat
yang lebih luas dalam pengelolaan hutan. Sebagai sebuah “proses”, maka konsep
HKM ini juga tidak memiliki sebuah sistem atau definisi yang
Walaupun demikian, para
peserta lokakarya sepakat bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk
menuju sebuah sistem pelaksanaan HKM yang ideal. Tahapan ini
dijelaskan oleh Prof. S.B.
Bilateral
Matching Institution
Prof. Roy menyebut diagram di atas sebagai “Bilateral Matching Institution” karena
proses yang terjadi dalam program HKM di India melibatkan dua institusi yang
sebelumnya terasa amat jauh dan berbeda, yaitu Departemen Kehutanan dan
masyarakat lokal. Dengan kondisi yang demikian, dua aspek
yang sangat penting yang harus diselesaikan sejak awal adalah menyamakan visi
dan menciptakan kondisi saling percaya (trust)
yang sebelumnya tidak pernah ada antara Departemen Kehutanan dan masyarakat
lokal. Sebelumnya, Departemen Kehutan selalu curiga
kepada masyarakat dan menganggap masyarakat tidak mampu mengelola hutan.
Sebaliknya, masyarakat lokal menganggap Departemen Kehutan
sebagai sebuah institusi yang korup dan tidak perduli kepada mereka.
Dikarenakan kondisi yang demikianlah, Prof. Roy meletakkan penekanan yang
sangat besar pada penciptaan visi yang sama dan rasa
saling percaya diantara masyarakat lokal dan Departemen Kehutanan.
Diagram yang diperlihatkan di
atas memberikan perbedaan yang sangat kentara antara aspek Institusi, ekologi
dan ekonomi.
Aspek institusi harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
masuk ke aspek ekologi dan ekonomi. Sebagai salah
seorang peserta, penulis memberikan tanggapan bahwa adalah benar setiap program
HKM harus menyelesaikan aspek institusi terlebih dahulu, tetapi setelah itu
aspek ekologi dan ekonomi harus datang secara berbarengan. Ketika
melakukan pilihan ekologi, maka aspek ekonomi harus juga dijadikan pertimbangan
sehingga ada kesimbangan antara aspek konservasi disatu pihak dan keuntungan
ekonomi dipihak lain. Walaupun demikian, kodisi setempat
sangat berpengaruh terhadap pilihan yang dilakukan. Pada
areal yang sangat sensitif secara ekologi, maka tidak ada pilihan selain
memberikan penekanan yang besar kepada pemenuhan aspek ekologi.
Saat ini Divisi Pengembangan Daerah Penyangga Unit
Manajemen Leuser juga sedang mengembangkan program HKM. Program
ini telah didisain sedemikan rupa dan dimulai dengan pembenahan masalah
institusi baik di tingkat Propinsi, Kabupaten maupun masyarakat calon peserta
HKM yang kebetulan sekali sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh Prof Roy di
atas. Pada tingkat propinsi telah terbentuk sebuah Tim
Tingkat Propinsi yang bertanggung jawab untuk membuat kebijakan yang berkaitan
dengan implementasi HKM di lapangan dan pengurusan Izin lokasi dan kelompok.
Tim Tingkat Propinsi yang terdiri dari unsur kehutanan, UML, LSM, dan
Universitas dibentuk dengan adanya kesepakatan kerja sama
antara Kakanwil Kehutanan dan Ko-Direktur UML. Sedangkan Tim
Tingkat Kabupaten yang dibentuk dengan SK Bupati bertanggung jawab dalam hal
pemilihan lokasi, pembentukan kelompok, pembinaan teknis, dan pemantauan
kegiatan HKM dilapangan.
Tim tingkat Propinsi telah selesai merumuskan
kebijakan pelaksanaan HKM seperti: (1) kriteria penentuan lokasi; (2) cara pembentukan kelompok; (3) Jenis tanaman untuk HKM;
(4) prosedur pengurusan perizinan; dan lain-lain. Semua kebijakan di atas telah
selesai di sosialisasikan kepada seluruh Tim Tingkat Kabupaten (6 propinsi di
D.I. Aceh)
Saat ini Tim Tingkat Kabupaten sedang
bekerja menyiapkan institusi lokal dan penyuluhan-penyuluhan dalam pembentukan
kelompok masyarakat peserta HKM. Sejalan dengan pembentukan
kelompok, Tim juga telah berembuk dengan beberapa kelompok masyarakat
menyangkut penentuan lokasi yang sesuai untuk tempat pelaksanaan HKM.
Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan
program HKM di atas adalah keinginan untuk ikut serta dalam kegiatan HKM harus
datang dari masyarakat tanpa ada unsur paksaan. Dalam pelaksanaan program, sangat
ditekankan rasa pemilikan oleh kelompok masyarakat terhadap program HKM yang
mereka ikuti. Implikasinya adalah dalam program ini
masyarakat tidak mendapat bayaran dari pihak manapun tetapi partisipasi yang
dilakukan adalah sukarela.
Keuntungan yang diperoleh masyarakat dengan mengikuti
program HKM adalah mereka mendapat akses secara legal kedalam lahan hutan
negara selain tentu saja mendapat bantuan teknis dan sedikit subsidi dalam hal penyiapan bibit tanaman.
Selain itu semua keuntungan ekonomi dan ekologi di masa yang akan
datang akan manjadi milik peserta HKM.
Penulis sempat berdiskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan NTB tentang
pelaksanaan HKM di
Kunci kesuksesan HKM swadana
adalah adanya keinginan oleh masyarakat sendiri untuk terlibat dalam
pengelolaan hutan dan tentu saja rasa memiliki terhadap program yang mereka
laksanakan ditambah dengan bantuan teknis dari Dinas Kehutanan setempat. Hal ini telah memicu semangat
untuk berhasil, karena masyarakat telah menginvestasikan dana
dan tenaga untuk mengembangkan HKM tersebut. Sebaliknya
program yang didanai oleh Dep. Kehutanan mengalami kegagalan karena rendahnya
komitmen masyarakat dan belum tertata dengan rapinya aspek kelembagaan HKM.
Masyarakat berpartisipasi karena ada harapan mendapat
keuntungan finansial tertentu, sementara program menjadi goyah karena tidak ada
perekat kelembagaan yang bisa mengikat untuk menyukseskan program secara
berkelanjutan.
Sebagai sebuah proses, kegiatan HKM bersifat dinamis
dan terus berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Banyak program HKM yang
gagal disebabkan pelaksana
kegiatan kurang menaruh perhatian pada aspek pembenahan
institusi. Yang terjadi adalah bagaimana program tersebut bisa diselesaikan
sesuai dengan target tanpa melewati tahapan-tahapan yang ideal sebagaimana
disampaikan oleh Prof. Roy di atas.
Program pegembangan HKM yang
sedang dilaksanakan UML bersama instansi terkait memberi perhatian yang sangat
besar pada penyiapan institusi dan insfrastruktur sosial masyarakat. Dalam hal ini konsep HKM yang
dikembangkan mencoba mempertemukan dua level institusi, yaitu level propinsi
dan kabupaten yang terdiri dari unsur terkait dan level masyarakat dalam bentuk
kelompok tani atau mungkin nantinya koperasi. Dengan adanya pertemuan kedua
level institusi ini diharapkan nantinya akan lebih
mudah untuk menyelesaikan semua permasalahan baik di level atas maupun di level
bawah. Sebuah catatan yang penting adalah perbedaan level diatas tidak berarti
bahwa salah satunya bersifat lebih superior terhadap yang lain.
Daftar Pustaka:
1. Roy, S.B. 1999. “
2. Kepala Dinas Kehutanan NTB.
Kontak Pribadi, April 1999.