SISTEM PENGAMANAN HUTAN TERPADU (SPHT):

Sebuah Pemikiran[1]

 

Jamal M. Gawi

Latar Belakang/Kondisi Saat Ini

 

Tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi pengamanan hutan di Propinsi D.I. Aceh saat ini sedang berada dalam suatu periode yang sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin merajalelanya penebangan liar baik didalam lokasi HPH maupun di luar, dan yang paling memprihatinkan adalah penebangan liar juga terjadi pada kawasan konservasi dan kawasan lindung seperti di dalam Taman Nasional Gunung Leuser dan Hutan Lindung lainnya. Sebagai contoh, Stasiun Penelitian Suak Belimbing yang luasnya sekitar 450 ha dan sudah terkenal ke manca negara yang lokasinya berada dalam Taman Nasional Gunung Leuser, saat ini sedang dirambah habis-habisan tanpa ada hambatan sama sekali dari aparat yang berwenang.

 

Harus diakui bahwa instansi yang selama ini bertanggung jawab dalam pengamanan hutan seperti Departemen Kehutanan dan pihak terkait lain kelihatannya tidak mampu mengatasi masalah keamanan hutan secara keseluruhan. Terlepas dari berbagai hambatan dalam pengamanan hutan oleh instansi yang bersangkutan, pihak yang berwenang harus segera melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hutan Aceh dari kehancuran yang lebih parah.

 

Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan represif/penegakan hukum saja dalam pengamanan hutan masih tidak cukup. Untuk itu perlu disiapkan sebuah sistem pengamanan terpadu yang mengkombinasikan antara pendekatan penegakan hukum, penyadaran konservasi, dan pemberian alternatif kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk selanjutnya, sistem ini disebut dengan “Sistem Pengamanan Hutan Terpadu” atau disingkat SPHT.

 

 

Mengapa SPHT?

 

SPHT didasari pada sebuah pemikiran bahwa pendekatan represif/penegakan hukum semata tidak cukup untuk mengatasi masalah perambahan hutan. Apalagi dengan euphoria reformasi yang membuat, diakui atau tidak, peran penegak hukum menjadi semakin minimal dikalangan masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan represif/penegakan hukum harus ditempatkan pada proporsi yang sesuai setelah di kombinasikan dengan pendekatan penyadaran konservasi/hukum dan penyediaan kegiatan ekonomi alternatif yang berkelanjutan. Pendekatan SPHT hanya bisa efektif kalau ketiga muatannya tersebut dapat diterapkan secara menyeluruh walaupun tidak perlu secara bersamaan.

 

Yang tidak kalah penting dalam pendekatan SPHT sebenarnya adalah pembentukan tanggung jawab pada instansi yang terkait. Tanggung jawab ini harus dalam bentuk tanggung jawab bersama yang dijabarkan dalam bentuk tugas yang jelas dari masing-masing instansi yang terkait. Pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun bersama, tergantung dari kepentingan dan kemampuan instansi bersangkutan. Misal untuk penegakan hukum, dapat dipakai aparat jagawana bersama dengan aparat kepolisian ataupun tentara. Sedangkan dalam hal penyadaran dan kegiatan ekonomi alternatif dapat diberikan kepada pihak-pihak yang bergerak dibidang ini.

 

 

Anatomi Sistem Penebangan Liar

 

Sebelum pendekatan SPHT dilaksanakan, harus terlebih dahulu dilakukan pembedahan “eksistensi penebangan liar”. Dengan mengetahui anatomi sistem penebangan liar, maka selanjutnya dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk melumpuhkan kerja sistem penebangan liar tersebut. Dalam kaitan ini, pendekatan yang paling memungkinkan adalah lewat pendekatan represif/penegakan hukum. Jenis tindakan yang akan diambil tergantung dari situasi lapangan dan target group yang akan dikenai perlakuan. Bagan 1 memperlihatkan cara kerja dan unsur yang terlibat dalam penebangan liar.

 

Pada Bagan tersebut terlihat ada dua lingkaran penting yang memerlukan pengamanan, yaitu lingkaran 1 dan lingkaran 2. Lingkaran 1 memperlihatkan hubungan langsung antara penebang liar, pemilik chainsaw (sebagai penebang liar), dan HPH yang juga melakukan penebangan liar (di luar lokasi, di kawasan lindung) dengan objek hutan. Lingkaran 2 memperlihatkan hubungan antara penebang liar dengan pihak-pihak yang memberikan dukungan kerja serta menampung kayu curian. Pihak-pihak tersebut adalah pemilik chainsaw, kilang kayu baik yang mempunyai izin ataupun yang tidak, dan HPH.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagan 1. Anatomi Sistem Penebangan Liar

 
 

 

 

 


Secara lebih terperinci unsur-unsur yang terlibat dalam perambahan hutan dapat diuraikan sebagai berikut:

 

1.     Perambah

Perambah hutan adalah sekelompok orang yang secara ilegal melakukan pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya dari hutan negara ataupun hutan yang telah diberikan hak seperti HPH, IPK, dll. Secara sosial budaya, kadang-kadang kelompok ini tidak mau menyebut dirinya sebagai perambah, tetapi mereka meng-claim memiliki hak juga untuk memanfaatkan hasil hutan. Kelompok ini biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi didukung oleh suatu jaringan yang mengambil manfaat dari hasil hutan, seperti pemilik chainsaw, kilang kayu (sawmill), dan HPH.

 

2.     Pemilik Chainsaw

Pemilik chainsaw adalah kelompok masyarakat ataupun oknum pemerintah (bisa sipil maupun militer) yang meminjamkan atau menyewakan chainsaw kepada penebang liar.  Adakalanya pemilik cainsaw ini juga menampung kayu curian dan memasoknya ke kilang kayu.

 

3.     Kilang Kayu

Kilang kayu dapat dibagi dua, yang liar dan yang memiliki izin operasi. Saat ini diduga cukup banyak kilang kayu yang memiliki ataupun tidak memiliki izin beroperasi di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser. Kilang kayu biasanya juga meyediakan chainsaw dan sekaligus menampung hasil kayu curian.

 

4.     HPH

HPH adalah pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang memiliki izin pemanfaatan hasil hutan berupa kayu pada wilayah tertentu selama periode waktu tertentu. Saat ini disinyalir banyak juga pemegang HPH membiarkan penebanng liar beroperasi didalam lokasi konsesinya baik secara terpisah ataupun melalui kerja sama dengan staf HPH.

 

5.     IPK

Izin Penebangan Kayu (IPK) dapat merupakan sumber masalah karena mereka selama ini juga diduga ikut menerima masukan kayu dari penebang liar. Bahkan disinyalir, banyak IPK yang arealnya sudah tidak memiliki kayu lagi, sehingga dapat dipastikan kayu yang mereka keluarkan adalah illegal.

 

 

 

Bagaimana Cara Kerjanya?

 

SPHT sebenarnya terdiri dari tiga pendekatan yang berbeda tetapi saling tergantung satu sama lain; yaitu pendekatan represif/penegakan hukum, pendekatan penyadaran, dan pendekatan kegiatan ekonomi alternatif yang berkelanjutan. Berikut ini akan diuaraikan secara lebih teroerinci ketiga pendekatan di atas.

 

1.     Pendekatan Represif/Penegakan Hukum;

Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para penebang liar adalah melanggar hukum dan dapat diproses secara hukum. Hal-hal yang dilakukan dapat dibagi dua, yaitu penindakan (represif) dan pencegahan (preventif).

 

1).  Penindakan

Penindakan dapat dilakukan pada dua lingkaran pada bagan 1 di atas. Pada lingkaran pertama (pengamanan langsung), aparat pengaman melakukan perlindungan terhadap hutan dari penebangan liar. Semakin intensif pengamanan yang dilakukan semakin aman kawasan hutan yang diamankan.

 

Pada lingkaran kedua, pengamanan lebih terfokus kepada aktor (unsur) perambah dan pihak-pihak yang berhubungan dengan perambah dari pada mengamankan hutan secara langsung. Dalam kaitan ini harus diambil beberapa tindakan terhadap unsur-unsur yang terlibat:

(a)  Penyitaan semua chainsaw yang tidak memiliki izin baik dari pemilik perorangan, maupun dari pihak-pihak lain;

(b)  Penutupan semua kilang kayu yang tidak memiliki izin;

(c)   Pengetatan dan pemeriksaan secara berkala terhadap kapasitas dan sumber kayu pemilik kilang kayu. Bila ditemukan pelanggaran, maka segera diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(d)  Pengetatan pengawasan kerja HPH. Bila ditemukan pelanggaran, segera diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

    2).   Pencegahan

Pencegahan dilakukan melalui penyuluhan dan penyamaan persepsi dengan semua unsur yang terkait. Penyuluhan terutama sekali ditujukan kepada masyarakat yang bermukim disekitar hutan. Salah satu media penyuluhan yang cocok untuk kasus ini adalah dengan menyebarkan pamflet atau selebaran tentang arti penting hutan dan penindakan terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap hutan. Penyamaan persepsi dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu seperti pemilik kilang kayu dan HPH melalui suatu pertemuan bersama yang mendiskusikan pengamanan hutan dan tindakan yang hukum yang akan diambil kalau pihak-pihak tersebut masih terus melakukan pelanggaran.

     

 

2.     Pendekatan Penyadaran Hukum/Konservasi

 

Pendekatan ini dilakukan untuk mendukung pendekatan penegakan hukum di atas. Hal ini dilakukan dengan memberian pengertian tentang ilegalitas kegiatan yang dilakukan dan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Pada tahap ini juga diberikan pengertian tentang alternatif kegiatan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang kehidupan ekonomi (terutama kepada masyarakat lepas). Sejalan dengan yang diuraikan pada tindakan pencegahan (preventif) di atas, maka salah satu media, selain penyuluhan langsung, yang dapat dipakai adalah melalui penyebaran selebaran atau pamflet tentang konservasi dan penegakan hukum.

 

 

3.     Pendekatan Kegiatan Ekonomi Alternatif

 

Pendekatan ini ditujukan untuk memberikan kegiatan ekonomi alternatif yang berkelanjutan pada eks penebang liar. Kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan yang masih berorientasi pada hutan seperti Hutan Kemasyarakatan dan NTFP ataupun yang tidak berorientasi pada hutan seperti kegiatan pertanian, industri kecil, jasa, dll. Salah satu sumber dana yang bisa diharapkan untuk mendukung kegiatan ini adalah “Kredit Usaha Tani” (KUT) yang saat ini sedang didistribusikan oleh pemerintah. Selain itu, perlu juga dicarikan sumber dana lain dari sponsor yang memungkinkan baik dari dalam maupun luar negeri.

 

 

Sequensi Kegiatan

 

Ketiga kegiatan di atas, walaupun saling terkait, sebenarnya mempunyai sequensi pelaksanaan yang berbeda-beda tergantung kondisi masalah yang dihadapi. Dalam kondisi normal, dimana dianggap masalah masih kecil, maka pendekatan penyadaran hukum dan penyuluhan konservasi mendahului pendekatan lainnya. Tetapi dalam kondisi mendesak, maka pendekatan penegakan hukum mendahului kegiatan lainnya.

 

Penyediaan Kegiatan Ekonomi Alternatif

 

Penegakan Hukum (Represif)

 

Penegakan Hukum (Represif)

 
      

Penyadaran/Penyuluhan

 
 


             

 

 

 

Penyediaan Kegiatan Ekonomi Alternatif

 

Penyadaran/Penyuluhan

 

Kondisi Normal

 

Kondisi Darurat

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Bagan 2. Sekuensi Pemecahan Masalah Perambah Hutan

 
 

 

 

 


Walaupun pemecahan masalah di atas hanya mengacu pada dua situasi, yaitu situasi normal dan darurat, tetapi kenyataan lapangan adakalanya membutuhkan tindakan cepat mengingat situasi yang sangat darurat, seperti dalam kasus perambahan di dalam Taman Nasional atau kawasan lindung lainnya. Dalam kasus seperti ini, operasi terpadu sangat diperlukan dibawah tanggung jawab langsung Bapak Wakil Gubernur.

 

 

Administrasi/Organisasi Kerja

 

Organisasi kerja yang sesuai untuk melaksanakan SPHT secara efektif adalah melalui sebuah induk organisasi yang kemudian dipecah kedalam tiga sub-group sesuai dengan pendekatan yang dipakai. Sedangkan pihak-pihak yang terlibat adalah instansi pemerintah terkait baik di tingkat I maupun II ditambah dengan LSM. Agar sistem kerja menjadi lebih efektif maka diperlukan dua layer organisasi, satu di Tingkat I sebagai perumus kebijakan dan satu lagi di Tingkat II sebagai pelaksana. Organisasi pelaksanaan ditunjukkan pada Bagan 3.

 

 

 

Bagan 3. Struktur Organisasi Pelaksanaan Pengamanan Hutan

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Pengamanan Hutan dan Perencanaan Daerah

 

Dalam kasus-kasus tertentu dimana terdapat bekas areal HPH, maka harus pula dibentuk sebuah komisi daerah untuk menangani pengamanan dan peruntukan lahan. Khusus untuk pengamanan lahan, pendekatan di atas dianggap sudah memadai. Tetapi untuk pengkajian peruntukan lahan, maka sebaiknya dibentuk sebuah komisi lagi yang khusus menangani pemanfaatan bekas areal HPH tersebut. Komisi ini harus dibentuk di Tingkat II dengan anggota terdiri dari instansi perencanaan dan kehutanan di tingkat II ditambah dengan LSM. Dalam pelaksanaan kerjanya, komisi ini harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pembentukan komisi ini dapat dimulai dengan surat Gubernur/Wakil Gubernur yang memerintahkan Bupati membentuk Komisi Daerah untuk mengelola areal bekas HPH sekaligus memberi gambaran tentang susunan komisi.

 

Pada komisi inilah UML dapat berperan untuk memberi masukan kepada komisi dalam pengelolaan bekas areal HPH yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Karena UML telah mempunyai konsep yang jelas tentang penggunaan areal ini, maka diperkirakan akan sangat membantu komisi daerah untuk merencanakan penggunaan areal bekas HPH sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang disepakati bersama.

 

Pendekatan Alternatif

Selanjutnya perlu juga dikaji sistem pengamanan hutan oleh masyarakat setempat, dengan catatan, mereka mendapat dukungan sepenuhnya dari aparat pemerintah dan aparat hukum. Sistem ini harus dimulai dengan revitalisasi lembaga adat/desa dan lembaga ini harus didukung sepenuhnya oleh masyarakat desa bersangkutan. Kelemahan sistem ini adalah, saat ini sudah mulai sukar mendapatkan lembaga adat yang mapan dan masih dipatuhi oleh masyarakat, apalagi kalau masyarakatnya heterogen.



[1] Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi internal UML, tidak untuk dipublikasi.